Assalamu 'alaikum wr.wb.
Hari Raya Idul Fitri tinggal menunggu jarum jam memutari keduabelas angkanya, cukup sekali saja. Dan setelah itu barsahut-sahutan suara takbir dikumandangkan. Menjelang Idul Fitir, di daerahku ada sebuah tradisi yang bernama nyekar. Secara harfiah berasal dari kata sekar yang berarti bunga. Sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri masyarakat di daerahku menziarahi makam sanak saudara yang telah meninggal. Sebenarnya tradisi ini seperti ziarah kubur biasa, tapi mungkin yang membedakan adalah waktunya. Selain itu kebiasaan membawa bunga untuk kemudian ditabur di atas makam, hingga mungkin inilah yang melatarbelakangi penamaan tradisi tersebut.
Tahun ini aku kembali diajak oleh orang tuaku mengunjungi makam almarhum kakek nenekku. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Yaah, walaupun aku tak begitu suka. Soalnya, ke makam? Tempat yang dipenuhi tanaman kamboja hingga membuat tempat tersebut tercium mistis. Tempat yang ramai orang tapi justru sepi, sunyi. Buat apa pikirku. Hanya untuk menabur bunga, apa tempat itu kekurangan warna hingga perlu tambahan kelopak-kelopak merah sekuntum mawar?
Aku pernah mendengar salah satu hadits Nabi yang menganjurkan kita untuk menziarahi makam keluarga kita yang telah wafat. Dan hal ini agar kita yang masih diberi umur panjang oleh Allah selalu mengingat kematian seperti yang telah menimpa saudara kita tersebut. [saya bukan seorang yang ahli dalam hal kesahihan hadits, maka dari itu silakan mencari dari sumber lain yang relevan]
Berkali-kali mengikuti tradisi ini tetap saja aku belum merasakan esensi yang terkandung di dalamnya.Seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku hanya ikut. Memasuki makam, duduk jongkok. Ayahku membacakan do'a aku juga hanya melayangkan surat Al Fatihah. Hingga pernah aku mempertanyakan, sampaikah do'a-do'a ini? Orang yang mungkin jasadnya telah menyatu dengan tanah, dikirimi do'a-do'a.
Hingga pagi ini kuulang lagi tradisi itu. Dan entah kenapa yang kali ini tak seperti rutinitas yang sama dengan tahun-tahun dulu. Mungkin aku yang lebih dewasa dan mulai menyadari gunanya berkunjung ke tempat peristirahatan ini. Bukan sekadar membaca Al Fatihah sembari jongkok dan tak tahu untuk apa atau siapa bacaan itu. Kali ini pun tak lagi kupandang makam sebagai tempat yang mistis dan seram. Setelah melangkahkan kaki masuk, tempat yang damai yang aku lihat. Benar sepi, senyap, tapi juga menenangkan. Saking sepi dan tenangnya, hanya akan terdengar suara toa masjid yang tengah tadarus atau bahkan suara hatimu yang tengah haus.
Rutinitas membaca Al Fatihah sambil jongkok di depan makam pun terasa lain. Seketika berhadapan dengan gundukan tanah berpatok atas bawah, ada perasaan takut di hati ini. Bukan rasa takut seperti menonton film-film horor, tapi takut mati. Bagaimana aku nanti, jika telah saatnya aku . . .
Belum sempat bulu kudukku bergidik, di balik takut tadi ada rasa penyeimbangnya. Bagai momen kopel pasangannya, yang mempunyai kekuatan sama kuat untuk menahan ketakutan tadi. Yaitu rasa syukur. Syukur Allah SWT masih memanjangkan umur. Masih diberi kesehatan, kehidupan. Syukur yang langsung mempengaruhi mindset bahwa selama masih hidup, selama masih menginjak tanah dan belum sebaliknya diinjak oleh dirinya, karunia ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Hingga tak ada sesal tersisa sesudahnya.
Alhamdulillah, terima kasih Ya Rabb. Engkau masih memberiku kesempatan mengecap nikmat-Mu. Nikmat hidup dari-Mu, nikmat Islam-Mu.
Wahai saudaraku kita tak tahu kapan tepatnya azal kan datang. Hanya Allah Maharahasia-lah yang mengetahui. Bisa masih lama, bisa saja sedetik kemudian. Akan tetapi kematian selalu mengikuti kita. Bagai bayangan diri akibat sinar mentari. Jangan kira akan lenyap ketika gelap, justru melebur menyatu dengan kegelapan itu. Selalu siap, senantiasa menyergap.
Semoga kita bukanlah orang yang nantinya bakal menyesal.
Wassalamu 'alaikum wr.wb.
Hari Raya Idul Fitri tinggal menunggu jarum jam memutari keduabelas angkanya, cukup sekali saja. Dan setelah itu barsahut-sahutan suara takbir dikumandangkan. Menjelang Idul Fitir, di daerahku ada sebuah tradisi yang bernama nyekar. Secara harfiah berasal dari kata sekar yang berarti bunga. Sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri masyarakat di daerahku menziarahi makam sanak saudara yang telah meninggal. Sebenarnya tradisi ini seperti ziarah kubur biasa, tapi mungkin yang membedakan adalah waktunya. Selain itu kebiasaan membawa bunga untuk kemudian ditabur di atas makam, hingga mungkin inilah yang melatarbelakangi penamaan tradisi tersebut.
Tahun ini aku kembali diajak oleh orang tuaku mengunjungi makam almarhum kakek nenekku. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Yaah, walaupun aku tak begitu suka. Soalnya, ke makam? Tempat yang dipenuhi tanaman kamboja hingga membuat tempat tersebut tercium mistis. Tempat yang ramai orang tapi justru sepi, sunyi. Buat apa pikirku. Hanya untuk menabur bunga, apa tempat itu kekurangan warna hingga perlu tambahan kelopak-kelopak merah sekuntum mawar?
Aku pernah mendengar salah satu hadits Nabi yang menganjurkan kita untuk menziarahi makam keluarga kita yang telah wafat. Dan hal ini agar kita yang masih diberi umur panjang oleh Allah selalu mengingat kematian seperti yang telah menimpa saudara kita tersebut. [saya bukan seorang yang ahli dalam hal kesahihan hadits, maka dari itu silakan mencari dari sumber lain yang relevan]
Berkali-kali mengikuti tradisi ini tetap saja aku belum merasakan esensi yang terkandung di dalamnya.Seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku hanya ikut. Memasuki makam, duduk jongkok. Ayahku membacakan do'a aku juga hanya melayangkan surat Al Fatihah. Hingga pernah aku mempertanyakan, sampaikah do'a-do'a ini? Orang yang mungkin jasadnya telah menyatu dengan tanah, dikirimi do'a-do'a.
Hingga pagi ini kuulang lagi tradisi itu. Dan entah kenapa yang kali ini tak seperti rutinitas yang sama dengan tahun-tahun dulu. Mungkin aku yang lebih dewasa dan mulai menyadari gunanya berkunjung ke tempat peristirahatan ini. Bukan sekadar membaca Al Fatihah sembari jongkok dan tak tahu untuk apa atau siapa bacaan itu. Kali ini pun tak lagi kupandang makam sebagai tempat yang mistis dan seram. Setelah melangkahkan kaki masuk, tempat yang damai yang aku lihat. Benar sepi, senyap, tapi juga menenangkan. Saking sepi dan tenangnya, hanya akan terdengar suara toa masjid yang tengah tadarus atau bahkan suara hatimu yang tengah haus.
Rutinitas membaca Al Fatihah sambil jongkok di depan makam pun terasa lain. Seketika berhadapan dengan gundukan tanah berpatok atas bawah, ada perasaan takut di hati ini. Bukan rasa takut seperti menonton film-film horor, tapi takut mati. Bagaimana aku nanti, jika telah saatnya aku . . .
Belum sempat bulu kudukku bergidik, di balik takut tadi ada rasa penyeimbangnya. Bagai momen kopel pasangannya, yang mempunyai kekuatan sama kuat untuk menahan ketakutan tadi. Yaitu rasa syukur. Syukur Allah SWT masih memanjangkan umur. Masih diberi kesehatan, kehidupan. Syukur yang langsung mempengaruhi mindset bahwa selama masih hidup, selama masih menginjak tanah dan belum sebaliknya diinjak oleh dirinya, karunia ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Hingga tak ada sesal tersisa sesudahnya.
Alhamdulillah, terima kasih Ya Rabb. Engkau masih memberiku kesempatan mengecap nikmat-Mu. Nikmat hidup dari-Mu, nikmat Islam-Mu.
Wahai saudaraku kita tak tahu kapan tepatnya azal kan datang. Hanya Allah Maharahasia-lah yang mengetahui. Bisa masih lama, bisa saja sedetik kemudian. Akan tetapi kematian selalu mengikuti kita. Bagai bayangan diri akibat sinar mentari. Jangan kira akan lenyap ketika gelap, justru melebur menyatu dengan kegelapan itu. Selalu siap, senantiasa menyergap.
Semoga kita bukanlah orang yang nantinya bakal menyesal.
Wassalamu 'alaikum wr.wb.