Assalamu 'alaikum wr. wb.
Kemarin baru saja aku selesai membaca sebuah buku novelet
best seller karya salah satu penulis wanita terkeren milik Indonesia, Dewi
Lestari-Dee. Salah satu masterpiecenya Madre. Belum bisa kuterka isi buku
tersebut hanya dengan mendengar judulnya yang bahkan aku tak tahu apa artinya.
Apalagi dengan covernya yang menggambarkan sebuah kunci gembok. Misteri ala-ala
Sherlock Holmes pikirku awal pertama kutemukan buku itu di rak Perpusda
Salatiga. Setelah membaca karya sebelumnya, Filosofi Kopi, aku langsung
tertarik dengan semua karya penulis bernama pena Dee ini. Ringan tapi
mengesankan. Ia mengangkat topik yang jarang terjamah di pembahasan-pembahasan
manapun. Seperti kehidupan ikan lele. Dalam Madre terangkum di Menunggu Layang-Layang.
Nah, ada apa dengan lele?
Menurut kita mungkin lele hanyalah ikan biasa. Hitam, licin,
dan berpatil. Berhabitat di tempat yang ekstra menjijikkan. Tempat buangan para
manusia usai menuntaskan masalah perutnya. Gara-gara tempat hidupnya ini, menu
lele di berbagai pemancingan tak banyak dipesan. Kalah dengan gurami bakar atau
nila bumbu asam manis. Mengingat proses penggemukan ikan lele ini, mungkin saja,
memakan hasil makanan.
Akan tetapi apakah kalian pernah dengar ikan lele berharap punya tempat hidup yang lebih ‘layak’ seperti kolam berair mancur punya gurami atau nila? Kemudian berharap menu berbahan dirinya menjadi yang paling banyak diminati? aku berani bilang dengan bahasa ikan, tidak.
Akan tetapi apakah kalian pernah dengar ikan lele berharap punya tempat hidup yang lebih ‘layak’ seperti kolam berair mancur punya gurami atau nila? Kemudian berharap menu berbahan dirinya menjadi yang paling banyak diminati? aku berani bilang dengan bahasa ikan, tidak.
Ikan lele selalu bersyukur atas apa saja yang dikaruniakan
olehnya. Meski hanya bak kotoran, ia tetap menganggapnya istana. Dalam
kesehariannya ia sama sekali tak iri dengan saingan-saingannya di menu
rumah makan pemancingan. Yang memiliki kolam lebih ‘layak’, perawatan rutin, dan makanan
yang memang khusus untuknya, produksi pabrik, berbentuk butiran warna-warni.
Satu hal yang membuat lele bahagia akan septictanknya yaitu karena ia sadar di
sanalah rumahnya, tempat di mana ia benar-benar dibutuhkan. Tak menggubris cemoohan
orang dan tetap menjalankan apa yang telah ditakdirkan untuknya. Suatu
pekerjaan mulia: mengunyah sisa-sisa kunyahan usus manusia.
Kadang aku merasa malu jika kenyataanya kita, termasuk aku,
tak lebih baik dari makhluk pisces
berjantung 2 ruang ini. Selalu mengharapkan lebih hingga jauh dari rasa syukur.
Terbutakan oleh keserakahan. Hingga pada akhirnya tak mengingat kalau semua ini
karunia Tuhan. Rasa iri pun menjadi diferensial atas sikap tak terpuji
tersebut. Kita pun tak seharusnya terlalu mendengarkan apa yang orang lain
bilang. Seperti lele yang tetap bahagia di istananya meski orang bilang itu
hanyalah istana lumutan dan berhias kotoran.
Yang sebenarnya kita butuhkan bukanlah tempat yang bagus,
megah, dan penuh kemewahan. Tempat yang sederhana pun sudah mewakili segalanya.
Asalkan kita bisa bermanfaat dan bahagia di sana. Karena rumah tak hanya
menyediakan kemewahan, tapi yang paling penting adalah kenyamanan. Begitulah
lele yang nyaman di sana, karena memang septictanklah rumahnya.
Semoga bermanfaat dan menginspirasi :D
Maaf kalau ada salah-salah kata.
Wassalamu 'alaikum wr. wb.
0 comments:
Post a Comment